Upaya Kurawa melenyapkan Pandawa tidak pernah berhenti. Untuk melaksanakan niat mereka kali ini, didirikanlah sebuah bangunan pertemuan, yang bahannya terbuat dari kayu yang mudah terbakar.
Pembuatan Bale Sigologolo ini, diperkirakan tidak akan memakan waktu lama, paling beberapa hari saja sudah selesai. Pembuatan Bale Sigologlo, telah dicurigai oleh Yama Widura, paman Pandawa dan Kurawa. Yama Widura berbudi baik, ia selalu membela kebenaran. Yama Widura sudah menduga bahwa Balai Sigologolo akan dijadikan tempat pembantaian bagi para Pandawa.
Untuk menggagalkan rencana tersebut, Yama Widura telah menyelundupkan beberapa prajuritnya untuk ikut membangun Bale Sigologolo.
Dimalam hari mereka menyelinap dan bersembunyi di kegelapan malam sehingga tidak diketahui oleh orang orangnya Patih Sengkuni. Yama Widura kenal betul dengan tanah tempat didirikannya Bale Sigologolo. Tanah itu dekat sekali dengan goa dibawah tanah menuju tempat Sanghyang Antaboga berada. Sanghyang Antaboga bertahta diistana bawah tanah bernama Saptapratala.
Untuk mengejar waktu, maka dibuatlah terowongan dari Bale Sigologolo ketempat paling dekat dengan Goa Saptapratala yaitu membuat jalan tembus dibawah tanah, mulai Bale Sigologolo sampai ke goa Saptapratala. Pekerjaan itu tidak akan membutuhkan waktu terlalu lama.Karena panjang terowongan itu tidak terlalu panjang. dari Bale Sigologolo.ke Goa Saptapertala. Para Perajurit Paman Yama Widura segera melaksanakan tugas rahasia. Dalam tempo semalam pekerjaan itupun selesai. Permukaan lubang di permukaan terowongan menuju goa Saptapratala, di tutup dengan jeruji besi. Kemudian ditimbun dengan tanah, sehingga tidak membuat curiga orang orang nya Patih Sengkuni.
Setelah pekerjaan bangunan Bale Sigologolo selesai, Para Kurawa menyiapkan perhelatan. Ada yang menggelar permadani, ada yang menyiapkan makanan dan minuman, ada pula yang menata panggung untuk pertunjukan tari tarian, dan juga disiapkan beberapa tempat tidur untuk istirahat Para Pandawa.
Setelah semuanya siap, Pandawa diundang menghadiri pesta di Bale Sigologolo, Para Pandawa dan Ibu Kunti duduk santai diatas permadani. Suasana menyenangkan. Suyudana dan adik adiknya begitu sangat ramah, mereka mempersilakan semua makanan dan minuman yang sudah disediakan.
Rupanya mereka beramah tamah, karena ada maunya. Supaya Para Pandawa mau disuguhkan makanan dan minuman yang sudah dicampuri sesuatu yang bisa memabukkan. Ibu Kunti, Punta Dewa, Arjuna, Pinten dan Tangsen merasa pusing, kemudian tak sadarkan diri. Sedangkan Bima yang sejak awal mempunyai rasa curiga,ia tidak makan apapun.
Tanpa sepengetahuan Para Pandawa maupun Kurawa,, ternyata ada seorang Ibu-ibu dengan anaknya lima orang laki laki, yang sangat kelaparan, telah memasuki sebuah bilik makan. Mereka makan dengan lahapnya.
Setelah diperkirakan Ibu Kunti dan Para Pandawa sudah mabuk, maka para Kurawa segera keluar dari Bale Sigologolo. Bale Sigologolo disiram dengan minyak bumi, dan kemudian disulutnya dengan api, yang banyak tersedia sebagai oncor penerang Bale Sigologolo. Bima mencium bau minyak bumi, setelah itu mencium pula bau kayu terbakar. Bima menjadi gugup ketika melihat Ibu Kunti dan saudara saudaranya belum juga sadar dari pingsannya.
Bima memohon kepada Dewata agar diberikan keselamatan pada keluarga Pandawa, dijauhkan dari bahaya api yang telah mengepungnya. Para Kurawa melemparkan oncor oncor itu, baik didinding sekeliling, di atap dan di bilik blik. Suara api meletup letup, memekak kan telinga dan asapnya mengganggu pandangan mata Bima. Bima juga merasakan kesulitan untuk bernapas, mata menjadi pedih karena asap.
Dewata memberikan pertolongan. Bima me lihat Seekor rase yang lari dihadapannya, kearah sudut bangunan Bale Sigolo golo. Bagi Bima suatu isyarat dewa untuk menyelamatkan Pandawa.Tanpa berpikir panjang lagi, maka Bima langsung segera menggendong seluruh keluarganya, dan mengikuti seekor rase yang lari dari kobaran api. Rase tersebut menuju suatu lobang kecil di sudut bangunan Bale Sigologolo. Bima membongkar tanah tempat rase menghilang, ternyata ada terowongan bawah tanah yang tertutup kerangka besi, Bima menyingkirkan tutup terowongan, kemudian Bima dengan hati hati menggendong Ibu dan saudara saudaranya,turun kedalam terowongan, sehingga mereka semua terhindar dari kobaran api. Terowongan itu dibuat oleh Yama Widura, guna menyelamatkan Para Pandawa. Setelah jauh meninggalkan Bale Sigologolo lewat bawah tanah, Bima masih dengan menggendong ibu dan saudara saudaranya berjalan dalam terowongan menuju jalan tembus goa tempat tinggal Sanghyang Antaboga. Akhirnya Bima sampai dihadapan Sanghyang Antaboga. Sanghyang Antaboga mengobati Ibu Kunti dan Pandawa yang membutuhkan pertolongan. Setelah mendapat perawatan secukupnya merekapun siuman kembali.
Sementara itu Bima terpesona dengan kecantikan puteri Sanghyang Antaboga yang bernama Dewi Nagagini. Keduanya saling mencintai, akhirnya atas persetujuan Ibu Kunti, Bima memperistri Dewi Nagagini. Sebelumnya Bima telah beristri Dewi Urangayu anak Bethara Baruna, saat Bima mendapat tugas Pandita Durna, untuk mencari sarang angin didalam Samudera, yang akhirnya mempertemukannya dengan Dewa Ruci.
Setelah hari ketujuh melangsungkan ritual perkawinan Bima dan Dewi Nagagini, Ibu Kunti dan para Pandawa, termasuk Werkudara pun berpamitan kepada Sanghyang Antaboga dan Dewi Nagagini.
Setelah keluar dari Goa Kerajaan Sapta pertala, mereka meneruskan perjalanan. Sete lah berjalan sekian lama, Ibu Kunti dan Para Pandawa sampailah di desa Ekacakra, Desa Ekacakra adalah sebuah desa yag letaknya diperbatasan Kerajaan Gilingwesi dan Astinapura. Desa Ekacakra termasuk wilayah Kerajaan Gilingwesi. Desa Ekacakra kelihatan tidak ada tanda tanda kehidupan. Desa Ekacakra hampir hampir tidak ada penghuninya.
Para Pandawa mencari tahu, apa sebe narnya yang telah terjadi di desa ini. Akhirnya mereka menemukan Begawan Wijrapa yang sedang menangisi nasibnya. Ia mendapat giliran untuk menyediakan seorang manusia untuk makanan raja. Setiap hari penduduk dimintai jatah hidangan daging manusia yang masih hidup secara bergiliran, Hal tersebut berlangsung tiap hari,sampai hampir hampir habis penghuninya. Sedang keluarga Begawan Wijrapa tinggal dirinya yang masih hidup. Sedangkan istri dan anak anaknya habis untuk makanan Prabu Baka Raja Gilingwesi. Mendengar itu, Bima meminta kepada Begawan Wijrapa untuk mengantarkannya sebagai hidangan makanan Prabu Baka. Semula Begawan Wijrapa, menolaknya, namun ketika Bima, melakukan itu karena berniat akan membebaskan penduduk dari kekejaman Prabu Baka, maka Begawan Wijrapa pun sanggup mengantarkannya. Setelah dilumuri bumbu, dibawalah Bima dengan gerobag yang ditarik oleh serakit sapi yang cukup gemuk. Sesampai di Istana Gilingwesi, Bima dimasukkan dalam baki besar dan disiapkan di meja makan. Sedangkan sapi yang menarik gerobag sudah habis dimakan Prabu Baka.Prabu Baka kemudian menyantap Bima. Bima langsung digigitnya. Bima merasa kesakitan. Bima lalu memukul wajah Prabu Baka berkali kali,Prabu Baka terkejut melihat makanannya mengajak berkelahi. Dalam perkelahian ini Prabu Baka tewas. Dengan tewasnya Prabu Baka,Penduduk Ekacakra merasa senang, karena sekarang sudah terbebas dari kejahatan Prabu Baka. Ibu Kunti dan Para Pandawa berpamitan dengan warga penduduk desa Ekacakra yang tersisa, untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Astina.
Perjalanan Ibu Kunti dan Pandawa ke Astina diantar Begawan Wijrapa.Setelah beberapa hari diperjalanan, Dewi Kunti dan Pandawa lima sampailah di Astina, dan menghadap Eyang Bisma,**
Media belajar, mencari Informasi, Wawasan, ilmu pengetahuan dan pengalaman seputar Agama dan Budaya serta yang terkait dengan kehidupan.
Kamis, 07 Juli 2011
MAKNA FILOSOFIS SEMAR
Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul
Artinya : Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar
Harafiah : Sang Penuntun Makna Kehidupan
Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tunggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik".
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa.
Rambut semar "kuncung" (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi.
Semar barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat".
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : menegakan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri sosok semar adalah
- Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
- Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
- Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
- Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
- Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Islam di tanah Jawa.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .
Semar (pralambang ngelmu gaib) - kasampurnaning pati.
Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna :
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya "merdekanya jiwa dan sukma", maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : "dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup".
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul
Artinya : Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar
Harafiah : Sang Penuntun Makna Kehidupan
Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tunggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik".
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa.
Rambut semar "kuncung" (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi.
Semar barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat".
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : menegakan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri sosok semar adalah
- Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
- Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
- Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
- Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
- Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Islam di tanah Jawa.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .
Semar (pralambang ngelmu gaib) - kasampurnaning pati.
Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna :
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya "merdekanya jiwa dan sukma", maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : "dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup".
ASMARADHANA UNDANG WADYA
Sang Swatama Angundangi
Undang wadya bala kuswa
Kinen Samekta gamane
Titian Kuda kreta joli jempana
Bendene ngunya mangungungkung
Tengara Bidaling Wadya..
Undang wadya bala kuswa
Kinen Samekta gamane
Titian Kuda kreta joli jempana
Bendene ngunya mangungungkung
Tengara Bidaling Wadya..
Langganan:
Postingan (Atom)